Selamat Jalan, Sahabat
Kamis, 08 Agustus 2019
Add Comment
Saya baru tiba di kantor ketika berita itu sampai. Di ujung telepon istri saya menyampaikan kabar yang ia dengar: Candra Modeong wafat. Tak percaya, rasanya. Saya tak menelepon siapapun untuk konfirmasi. Bersegera membuka medsos dan menelisik status kawan-kawan. Masih tak percaya, rasanya, walau telah ramai ucapan belasungkawa.
Di hari itu, Selasa (6 Agustus 2019), beberapa saat sebelum kabar itu sampai saya dirundung sedih. Tiba-tiba didera rindu pada ibu, yang telah almarhum sejak delapan belas tahun silam. Mata berkaca. Dan di tengah sendu itulah saya mendengar kabar sedih yang lain.
Can dan atau "Inyo" --demikian teman dan karib kerabat biasa menyapanya-- hanyalah seorang teman. Tak sungguh-sungguh dekat, namun tak berjarak. Di kala bereriungan dengan kawan-kawan, dalam obrolan serius atau bergurau, saya selalu menemukan keakraban dengannya.
Jauh sebelum Kabupaten Bolaang Mongondow Timur (Boltim) terbentuk, saya telah mengenalnya. Ketika tiga kecamatan (Kotabunan, Tutuyan, Nuangan) masih sebagai Kecamatan Kotabunan yang utuh, kami mahasiswa dan pelajar asal Kotabunan yang berada di Manado dan sekitarnya membentuk organisasi bernama Himpunan Pelajar dan Mahasiswa Kotabunan (HPMK) --dan Can terlibat di dalamnya untuk menginisiasi bersama Fahri Mokoagow dan beberapa teman lainnya. Semasa pelajar, dia aktif di Ikatan Remaja Muhammadiyah (IRM) dan saya di Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM).
Saya mengenalnya sebagai aktivis sejak usia belia. Sewaktu Boltim terbentuk, saya menaruh harap pada sekian aktivis muda yang bisa diandalkan menjadi pilar penopang perkembangan daerah ini di masa depan. Termasuk, Can dan Fandi Potabuga. Namun, pada 2011, Fandi dijemput ajal. Aktivis IMM ini mangkat di usia masih muda.
Karena itulah, Can, ....
Saya teringat sebuah kutipan Soe Hoek Gie dalam Catatan Harian Seorang Demonstran: "Kehidupan terbaik itu adalah tidak pernah dilahirkan. Yang kedua adalah mati muda." Gie juga mati muda.
Dalam amatan saya, Can adalah aktivis yang senantiasa "bergerak dan menggerakkan". Dia seorang yang dinamis dan komunikatif. Itulah yang saya saksikan dari reaksi orang-orang ketika kabar meninggalnya tersiar dan luberan manusia yang menyambut kedatangan jenazahnya hingga saat pemakaman. Lautan kesedihan itu menunjukkan eksistensinya di Boltim dan sekitarnya.
Ada banyak cerita terserak di hari kematian Candra. Ada banyak manfaat dari kehadiran tokoh ini bagi orang-orang di sekelilingnya. Tak heran, kematiannya yang mendadak itu, mengundang pilu mendalam. Rasa kehilangan yang massif. Rasa tak percaya bahwa Candra Modeong telah tiada.
Memang, Candra selalu terlibat untuk orang lain. Dilibatkan atau melibatkan dalam penyelesaian kegentingan bagi banyak orang. Dengan ingatan itulah nanti orang-orang mengenang dirinya.
Karena itulah, Can ....
Jika kelak, Can, saya --atau temanmu yang lain-- bertemu Neca dan Abo, anak-anakmu, yakinlah kami akan mengisahkan sosokmu yang membanggakan hati mereka.
Oleh: Ahmad Alheid
0 Response to "Selamat Jalan, Sahabat"
Posting Komentar