Pendidikan Yang Membebaskan
Senin, 10 Oktober 2016
Add Comment
TENTU saya bukan seorang pendidik, dan tidak pula ahli dalam mendidik. Namun begitu, saya selalu sepakat bahwa, apa yang disebut dengan pendidikan bukanlah sesuatu yang asing bagi kita. Dan kita mesti sepakat pula bahwa pendidikan sangat diperlukan semua orang. Sebagaimana kaum jomblo membutuhkan pasangan.
Semua manusia, tak terkecuali kaum jomblo dan mereka yang sedang patah hati, tentu pernah mengalami dan menjalani apa yang disebut pendidikan. Entah ia sebagai pendidik maupun yang di didik seorang pendidik. Ironisnya, dewasa ini, orang seringkali melupakan makna dan hakikat pendidikan itu sendiri. Layaknya hal lain yang sudah menjadi rutinitas, cenderung terlupakan makna dasar dan hakikatnya. Ibarat pasangan yang selalu lupa hal-hal kecil semacam; “Sayang sudah makan belum? Ayok aku traktir makan siang..”.
Maka sudah sepatutnya bahwa setiap orang, khususnya lagi yang terlibat langsung dalam dunia pendidikan, senantiasa merenungkan makna dan hakikat pendidikan, merefleksikan di tengah-tengah tindakan dan aksi, dalam dunia yang digelutinya serta melakukan tindakan dan aksi sebagai buah refleksinya. Seperti seorang pacar yang tak hanya manis dibibir tetapi pahit ditindakan.
Kita tahu bersama bahwa ada banyak definisi pendidikan, meski tak lebih banyak dari kaum jomblo yang tiap episode drama korea, selalu bertambah secara massal. Sehingga banyak pula pihak yang merasa perlu memberikan definisi.
Agar nampak seperti orang yang lebih banyak menghabiskan waktunya di perpustakaan, atau larut di antara tumpukan buku, maka saya hendak menukilkan di sini bahwa, pendidikan menurut pengertian bangsa Yunani, adalah pedagogik yang berarti ilmu menuntun anak. Sementara bangsa Romawi melihat pendidikan sebagai educare dimana mengandung makna mengeluarkan dan menuntun serta merealisasikan potensi anak yang dibawa sejak ia dilahirkan di dunia. Sedangkan bangsa Jerman melihat pendidikan sebagai Erziehung, yang tidak jauh berbeda maknanya dengan educare yakni : membangkitkan atau mengaktifkan kekuatan/potensi terpendam seorang anak. Selanjutnya, dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), pendidikan berasal dari kata dasar didik (mendidik). Dimana mengandung makna, memelihara dan memberi latihan (ajaran, pimpinan) mengenai akhlak dan kecerdasan pikiran. Pada umumnya, pendidikan mempunyai pengertian : proses pengubahan sikap dan tata laku seseorang atau kelompok orang dalam usaha mendewasakan manusia melalui upaya pengajaran dan latihan, proses perbuatan, cara didik.
Ki Hajar Dewantara mengemukakan arti dari pendidikan sebagai daya upaya untuk memajukan budi pekerti, pikiran serta jasmani anak, agar dapat memajukan kesempurnaan hidup yaitu hidup dan menghidupkan anak yang selaras dengan alam dan masyarakatnya.
Maka secara singkat, berdasarkan etimologi dan analisis diatas, pendidikan dapat dirumuskan sebagai tuntunan pertumbuhan manusia sejak lahir hingga tercapai kedewasaan jasmani dan rohani, dalam interaksi dengan alam dan lingkungan dimana ia tinggal.
Perlu diingat bahwa pendidikan merupakan proses yang terus menerus, dan tidak berhenti. Seperti seorang pacar yang terus menerus memberi cinta dan kasih sayang kepada pasangannya. Di dalam prosesnya, keluhuran martabat makhluk yang bernama manusia dipegang erat sebab manusia (mereka yang terlibat dalam pendidikan) adalah “subyek” dari pendidikan itu sendiri. Jika memperhatikan manusia itu sebagai subyek, dan pendidikan meletakkan manusia pada hal yang terpenting, maka perlu diperhatikan juga masalah otonomi pribadi.
Artinya adalah, manusia sebagai subyek pendidikan harus bebas untuk “ada” sebagai dirinya yakni manusia yang berpribadi, yang bertanggung jawab.
Lantas, apakah hasil pendidikan itu? Tentu saja menghasilkan perubahan pada subyek – subyek pendidikan itu sendiri. Bahasa sederhananya, perubahan dari tidak bisa menjadi bisa, dari tidak mengerti menjadi mengerti. Tapi, jelas tidak hanya sedemikian sempit perubahan – perubahan yang akan terjadi. Bukankah perubahan – perubahan itu menyangkut aspek perkembangan jasmani dan rohani juga?
Melalui pendidikan, manusia menyadari hakikat dan martabatnya di dalam relasinya yang tak dapat terpisahkan dengan alam, lingkungan, dan sesamanya. Itu berarti, pendidikan dapat mengarahkan manusia menjadi pribadi yang sadar diri dan sadar lingkungan. Berangkat dari kesadaran itu, sehingga manusia mampu memperbaharui diri dan lingkungannya tanpa kehilangan kepribadian dan tidak tercerabut dari akar tradisinya.
Namun terkadang bagi mereka yang berkompeten di bidang pendidikan akan menyadari bahwa sampai saat ini dunia pendidikan kita masih mengalami “sakit”. Ini disebabkan karena pendidikan yang seharusnya membuat manusia menjadi manusia, berbeda dengan kenyataannya. Seringkali justru pendidikan lah yang tidak memanusiakan manusia. Kepribadian manusia cenderung direduksi oleh sistem pendidikan yang ada dan akan ada.
Tanpa bermaksud menggurui, saya harus memberikan sedikit referensi mengenai realita masalah pendidikan yang dianggap sebagai hal penting yang sedang terjadi disekitar kita. Paling tidak, ini dapat manjadi bahan pembuka pikiran (bagi yang belum paham), atau mencoba untuk jujur (bagi yang sudah paham tapi pura – pura bodoh).
Pertama, bahwa pendidikan khususnya di Indonesia, menghasilkan “manusia robot”. Mengapa demikian? Alasannya sederhana. Hal yang sering disinyalir ialah, pendidikan acapkali dipraktekkan sebagai sederetan instruksi dari guru kepada murid. Apalagi dengan istilah yang sekarang sering digembar – gemborkan hingga sampai dijadikan slogan “pendidikan yang menciptakan manusia siap pakai”. Perlu dipahami, “siap pakai” disini berarti menghasilkan tenaga – tenaga yang dibutuhkan dalam pengembangan dan persaingan bidang industri dan teknologi.
Memperhatikan secara skeptis hal tersebut, akan nampak bahwa manusia dalam hal ini dipandang setara dengan bahan atau komponen pendukung industri. Dan itu berarti, lembaga pendidikan diharapkan mampu menjadi lembaga produksi sebagai penghasil bahan atau komponen dengan kualitas tertentu yang dituntut pasar. Lucunya kenyataan ini justru disambut dengan antusias oleh banyak orang.
Kedua, adalah sistem pendidikan yang top-down (dari atas ke bawah), meminjam istilah yang digunakan Paulo Freire (seorang tokoh pendidik dari Amerika Latin), adalah pendidikan gaya bank. Sistem pendidikan ini sungguh sangat tidak membebaskan. Sebab para peserta didik (murid) dianggap manusia – manusia yang tidak tahu apa – apa. Guru sebagai pemberi, mengarahkan kepada murid untuk menghafal secara mekanis tentang isi pelajaran yang diceritakan. Otak murid dipandang sebagai safe deposit box, dimana pengetahuan dari guru ditransfer kedalam otak murid dan bila sewaktu – waktu diperlukan, pengetahuan tersebut tinggal diambil saja.
Jadi hubungannya adalah guru sebagai subyek dan murid sebagai obyek. Freire mengatakan bahwa dalam pendidikan gaya bank, pengetahuan merupakan sebuah anugerah yang dihibahkan oleh mereka yang menganggap dirinya berpengetahuan kepada mereka yang dianggap tidak mempunyai pengetahuan apa – apa.
Ketiga, dari model pendidikan yang demikian, maka manusia yang dihasilkan hanya siap untuk memenuhi kebutuhan zaman dan bukan bersikap kritis terhadap zamannya. Lihat saja bagaimana kaum muda zaman ini, bukankah begitu gandrung dengan hal – hal yang berbau Barat? Bukan bermaksud anti-Barat kalau hal ini saya kemukakan. Melainkan justru mengajak kita semua untuk melihat kenyataan ini sebagai sebuah tantangan bagi dunia pendidikan kita. Mampukah kita menjadikan lembaga pendidikan sebagai sarana interaksi kultural untuk membentuk manusia yang sadar akan tradisi dan kebudayaan serta keberadaan masyarakatnya, sekaligus mampu menerima dan menghargai keberadaan tradisi, budaya, dan situasi masyarakat lain? Dalam hal ini makna pendidikan menurut Ki Hajar Dewantara menjadi sangat relevan untuk direnungkan.
Kembali ke hakikatnya, dalam Pendidikan yang membebaskan, hubungan antara guru dan murid bersifat membebaskan, yaitu masing – masing pihak mencoba untuk membangkitkan kemampuan yang dimilki oleh pihak lain dan menjadikannya dapat tersedia satu bagi yang lain. Misalnya kalau seorang murid menghendaki seorang guru, maka dia harus memberikan kebebasan kepada orang itu untuk menjadi gurunya dengan membagikan pengalaman sebagai sumber pemahaman dan pengertian. Dalam pengertian ini, guru menjadi sahabat bagi murid
Pendidikan/Pengajaran yang membebaskan terjadi dalam dua arah. Guru belajar dari murid dan murid juga belajar dari guru. Singkatnya, guru dan murid adalah teman seperjalanan mencari yang benar, bernilai dan sahih serta saling memberikan kesempatan untuk berperan satu terhadap yang lain. Seorang guru tidak mesti takut jika murid lebih mengerti tentang pelajaran yang diberikan. Dan tidak perlu merasa kehilangan kehormatan, karena justru yang demikian guru telah membebaskan murid dari perasaan takut dan memberikan kepada murid kebebasan untuk berkembang.
Pengajaran bukannya untuk mengasingkan dengan mengarahkan kesadaran murid keluar dari dirinya sendiri dan menjauh dari hubungannya yang langsung dengan kenyataan saat ini dalam diri dan lingkungannya. Akan tetapi pengajaran harus mengaktualisasikan. Begitulah cara kerja pendidikan yang membebaskan.
Sampai di ujung tulisan ini, satu hal yang nampak mengemuka adalah, betapa ideal dan agungnya pendidikan itu (selagi kita tidak membuatnya menyimpang). Namun sebagaimana hal lainnya yang ideal dan agung, acapkali dapat mengerutkan dahi kita dan tanpa sadar kita menggerakkan otot dada untuk menghela napas panjang.
Mengapa?
Pertama, kita merasa bahwa hal tersebut terlalu ideal, tidak realistis, terlalu mengada – ada, sehingga sangat sulit dan berat untuk dilaksanakan. Kemungkinan kedua, kita mengajui kebenaran dari apa yang baru saja kita baca dan refleksikan, lalu hal itu menggugah kita sehingga memberikan semangat untuk mulai bertindak, meski sebenarnya sadar itu sulit.
Nah, kita termasuk dalam kemungkinan yang mana?
*Sebagian isi tulisan ini dikutip dari buku Paulo Fleire dan The Adventure of Jonathan Gullible, pernah dan telah dimuat di Arusutara.com dan kompasiana.com
0 Response to "Pendidikan Yang Membebaskan"
Posting Komentar